Kejahatan
Korporasi dalam Lingkup
Kejahatan Bisnis
THE
WHITE COLLAR CRIME
Pendahuluan
Kejahatan selalu erat hubungannya
dengan nilai-nilai struktur dan bentuk
masyarakat itu sendiri. Artinya
kejahatan akan selalu ada di dalam masyarakat
manapun. Kalau kita melihat
perkembangan kejahatan di Indonesia pada era
tahun 1950 sampai dengan dekade
tahun 1970-an atau bahkan sampai sekarang,
nampak sekali bahwa kejahatan
ekonomi (tindak pidana penyelundupan) banyak
terjadi di daerah-daerah
perbatasan dengan negara tetangga. Sementara kejahatankejahatan
konvensional seperti pembunuhan,
perampokan, pencurian dan
penganiayaan cukup menonjol pula.
Pada dekade tahun 1980 sampai sekarang,
pelbagai bentuk kejahatan
bertambah dengan kejahatan (kenakalan) remaja,
perkosaan dan perampokan, bahkan
ternyata muncul gejala-gejala kejahatan yang
semakin canggih dan rumit, baik
di lihat dari modus operandi kejahatan, pelaku
maupun korban.
Kejahatan di bidang perbankan
dengan komputer sebagai sarana
manipulasi, kolusi pengusaha
dengan perbankan dan birokrat, pemalsuan surat-surat ekspor dan impor,
pencucian uang (money laundering), kejahatan
pembobolan bank, oleh pakar-pakar
kriminologi di golongkan sebagai “Kejahatan
Kerah Putih” atau “The White
Collar Crime”.
Romli Atmasasmita (1955:148)
mengemukakan bahwa model kejahatan
kerah putih (White Collar Crime)
disingkat WCC, dirintis oleh Edward A. Ross
(1806-1951) kemudian dipopulerkan
oleh Edwin H. Sutherland(1883-1950) pada
tahun 1949 dalam pidatonya
dihadapan “The American Sociological Society”.
Istilah ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa antara lain “Crime in col
blance” (perancis), “Criminalita
in colleti bianchi”(italia), “Weisse kragen
kriminolitat” (jerman) dan “El delito de cuello
blanco”(Spanyol).
Kejahatan Menurut
Masyarakat Awam
Kejahatan mengandung pengertian
yang relatif (tidak mutlak), tergantung
dari sudut pandang mana orang
memberi penilaian.Bagi seseorang juris (yang
beraliran formal legalitas),
pengertian “kejahatan” mudah ditemukan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
maupun di luar KUHP yang pada
dasarnya tiada lain menunjukkan
perbuatan-perbuatan mana yang di
kualifikasikan sebagai kejahatan.
Masyarakat awam (the lower class)
selalu melihat bahwa kejahatan
adalah menjadi monopoli kalangan
mereka, orang-orang miskin, orang
berperilaku anti sosial dalam
masyarakat, orang yang tidak berpendidikan. Teoriteori
kriminologi di atas sangat klasik
(kuno) karena kejahatan selalu dikaitkan
dengan kemiskinan, kekumuhan,
premanisme, padahal di lain sisi, perkembangan
modernisasi begitu cepat, sistem
komunikasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang seperti tak
terbendung lagi.
Teori kriminologi yang mengatakan
bahwa masyarakat “The Lower
Class” atau “The man in the
street” sudah tidak relevan lagi untuk di jadikan
pokok kajian kriminologi. Bahwa
modus operandi kejahatan dan penjahat ikut
berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat.
Kita coba menelaah pendapat
Barmes and Teeters yang menulis bahwa
“…Nothing could
be more to continue to look upon criminal as product of slums,
broken homes the
lower classes “(J.E
Sahetapy 1979:69).
Teori kriminologi mempersalahkan
pada dekade akhir abad ke-20 ini
bahwa bukan kemiskinan merupakan
faktor (utama) sebab musabab kejahatan,
melainkan justru kesejahteraan,
kemewahan, pola hidup konsumtif, harta dan
wanita merupakan faktor
perangsang untuk melakukan kejahatan yang
terselubung.
Iklan-iklan yang merangsang yang
secara lihai di hubungkan dengan
status sosial seseorang, demi
prestise, demi memenuhi tuntunan modernisasi,
dorongan halus ratu rumah tangga
karena pengaruh “demonstration effect”
tetangga atau kawan searisan atau
sewaktu resepsi, pendeknya kemakmuran
material (material prosperity)
merupakan faktor-faktor yang mendorong
seseorang melakukan kejahatan terselubung (J.E
Sahetapy,1979:69).
Pendekatan
Kriminologis
Seperti di utarakan di muka ,
White Collar Crime adalah jenis kejahatan
baru yang menjelma pada dekade
akhir abad ke 20 sebagai akibat meluasnya
akses pengetahuan dan teknologi.
Di lain pihak kejahatan-kejahatan konvensional
yang sudah tua seusia umur
peradaban manusia, seperti pembunuhan, pencurian,
perkosaan, penipuan, juga
terpengaruh oleh kemajuan peradaban-peradaban
manusia. Hal ini tidak dapat
dipungkiri, namun melihat bahaya yang ditimbulkan,
maka kita harus memberikan
perhatian khusus terhadap upaya pemberantasan
White Collar Crime. Apa
sebabnya ? Oleh karena White Collar Crime adalah
suatu kejahatan yang dilakukan
oleh orang-orang terhormat dan mempunyai
kedudukan sosial yang tinggi di
dalam melaksanakan jabatan atau profesi
mereka. Mereka (pelaku)
sehari-hari bisa merupakan bankir, seorang eksekutif,
seorang birokrat bereselon
puncak, seorang pengusaha, bahkan seorang jaksa,
hakim, polisi atau advokat dan
apabila mereka sudah berada dalam kelompok
kerja (pokja) bisa terjadi kolusi
dan korupsi.
Sutherland dalam tulisannya
(t.th:417) mengemukakan 5 (lima) unsur
pokok utama White Collar Crime
yaitu:
a. It was crime
b. Commiteby a person of
respectability
c. Of high social status
d. In the coyrse of this
accupation
White Collar Crime di Indonesia
dirasakan, tapi tidak nampak karena
terselubung. Mereka adalah
orang-orang terkemuka (very important person) yang
tidak segan-segan melakukan
kejahatan. Mereka sering menganggap dirinya
kebal hukum (Kasus Toni Gozal di
Ujung Pandang dan kasus Eddy Tansil
bersama pejabat Bapindo), karena
kemampuan materi dan kekuasaan yang
mereka miliki. Itulah sebabnya,
White Collar Crime adalah sebuah konsep “sosiokriminologi”
(bukan konsep juridis)
sebagaimana sebutan kata “penjahat”
(criminal) yang kerap kali
digunakan sebagai panggilan atau cap bagi mereka
yang melakukan perbuatan tertentu
dan di kualifikasi sebagai perbuatan jahat atau
kejahatan (G.W. Bawengan,1973:5).
Timbul pertanyaan,
bagaimanakah gambaran profil seorang White Collar Crime
itu ?
Menurut J.E sahetapy (1979) bahwa
banyak penjahat dewasa ini yang
berkaliber berat, berdasi, berjas
dan berpakaian yang mahal sesuai dengan
tuntunan mode, tampaknya patuh
pada undang-undang, dan kalau perlu menjadi
anggota suatu panitia sosial yang
terkenal, meluncur dalam Mercedes dan Volvo,
akan tetapi melakukan
praktek-praktek kejahatan tersembunyi di balik tutur kata
dan sopan santun yang
“gearticuleerd”. Mereka tidak berasal dari lapisan
masyarakat yang miskin, yang
kasar. Mereka tidak berotot kekar seperti bajingan
umum menurut gambaran Lombrosso,
istri-istri mereke adalah : “the robbers
baron”, sama jahatnya dengan
seorang perampok dan pembunuh tetapi denganmenggunakan cara dan metode yang
lain. Gambaran tersebut sampai saat ini
masih dapat kita lihat dan
rasakan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.
Bahkan ada kecenderungan perilaku
tersebut menjadi ambivalen, di satu sisi
berwajah “baik” dan di sisi lain
berwajah “buruk”. Oleh sebab itu, tidak dapat
diherankan jika seseorang
memiliki karakter ambivalensi dalam bertindak.
Tipe White
Collar Crime (WCC)
Kejahatan White Collar Crime
berasal dan berkembang di negara barat
(Amerika Serikat) yang mengacu
pada sosio kultur masyarakat barat. Kejahatan
ini muncul pada tahun 1939 pada
kalangan pengusaha dan politisi.
Gejala di atas ditanggapi oleh
Sutherland pada pidatonya di hadapan
asosiasi masyarakat Sosiologi
Amerika Serikat pada tahun 1939 dan menegaskan
bahwa :”The conventional
explanations are invalid principally because they are
derived from
biased samples. They sample are biased in that they have not
included vast
areas of criminal behavior of persons not in the lorver class. One of
theses neglected
area is the criminal behavior of basiness and professinal men “
Penulis akan mengemukakan dua
tipe White Collar Crime seperti yang
dibedakan oleh Sutherland, yaitu misrepresentation
of assets dan duplicity in the
manipulation of
perver. Adapun
kedua tipe tersebut dirinci oleh Sutherland
sebagai berikut (Romli
Atmasasmita,1955:151)
1. Dalam bidang bisnis
·
Misrepresentation
of financial statements of corporation
·
Manipulation
in the stock-exchange
·
Commercial
bribery
·
Bribery
of public official directly or indirectly in order to secure favorable
·
contracts
and legislation
·
Misrepresentation
in advertising and sales menship
·
Embezz
lements and misapplication of funds
·
Short
weight and measures and misgrading of commodities
·
Tax
fraudes
·
Misapplication
2. Dalam bidang kedokteran
·
Illegal
sale of alcohol and narcotics
·
Abortion
·
Illegal
services to under world criminal
·
Fraudulents
reports and testimony in accident cases
·
Extreme
cases of unnecessary treatment
·
Fake
specialists
·
Restriction
of competition and file splitting
Selanjutnya karakteristik White
Collar Crime yang membedakannya
dengan kejahatan lain adalah terletak pada
kepribadian pelakunya.
Di Indonesia beberapa kasus
kejahatan yang pernah terjadi beberapa
tahun lalu yang berdasarkan
karakteristik dari Schneider di atas dapat
dikategorikan sebagai White
Collar Crime seperti kasus Sandrtex yang merusak
segel PLN dan pembaharuan
meterannya, kasus korupsi reboisasi di Sulawesi
Selatan, Kasus Golden Key Group
yang melibatkan pejabat Bapindo dan pejabat
penting pemerintah, kasus tindak
pidana ekonomi, kasus-kasus kejahatan di
bidang perbankan.
Penutup
Indonesia sebagai salah satu
negara yang berkembang dan telah siap
memasuki era globalisasi, jelas
White Collar Crime sangat berbahaya dan akan
memberikan dampak dan citra yang
jelek di mata internasional apabila kejahatan
White Collar Crime tidak
diantisipasi dengan ketentuan-ketentuan yang lebih
represip.Kejahatan White Collar
Crime berlangsung bukan hanya di karenakan
oleh kemiskinan itu sendiri, tapi
bisa pula disebabkan oleh percepatan
pertumbuhan pendapatan yang tidak
seimbang artinya ketidak seimbangan itu
nampak karena yang satu “kaya”
dan yang lain “sengsara”. Pemerintah kita
betapapun telah memberikan banyak
kemajuan dalam dua dasa warsa ini yaitu
tingkat pertumbuhan ekonomi yang
rata-rata 6-7 persen pertahun yang terjadi
mungkin hanya “stigma-stigma” penyelenggaraan
pemerintahan yang buruk (bad
governance). Benih-benih
kejahatan White Collar Crime (seperti kolusi,korupsi
dan nepotisme) semakin meluas
melalui praktek, dan hanya dengan kemauan
politik pemerintah (Political
Will) harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Oleh sebab itu, aparat keamanan
lainnya serta institusi-institusi formal
seperti pengadilan dan
lembaga-lembaga penegak hukum dituntut semakin
meningkatkan peran dan fungsinya
secara efektif dalam rangka penegakan
hukum. Demikian juga halnya dengan
institusi-institusi sosial dalam masyarakat
yang berfungsi memainkan peran
kontrol sosial informal.
Seyogyanya dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
akan datang dirumuskan secara
terang dan jelas ketentuan-ketentuan yang
mengatur penanggulangan kejahatan
baru termasuk kejahatan “White Collar
Crime”. Hal ini sangat diperlukan
agar dapat menjadi instrumen hukum yang
efektif untuk memberantas
kejahatan White Collar Crime dalam masyarakat
dalam era globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar